Halaman

Kamis, 21 Maret 2013

Bioteknologi dan Tanaman Transgenik



A.      Bioteknologi dan Tanaman Transgenik
Istilah bioteknologi adalah pemanfaatan proses biologi untuk menghasilkan suatu produk.  Praktek bioteknologi telah dilakukan sejak lama, yaitu dalam proses pembuatan bir, minuman anggur, dan keju.  Namun istilah bioteknologi saat ini lebih terarah pada proses-proses yang melibatkan DNA. Bioteknologi dalam bidang pertanian adalah pemanfaatan teknik-teknik molekuler berbasis DNA untuk rekayasa genetik tanaman dan hewan. Organisme yang dihasilkan dari rekayasa genetik  disebut dengan transgenik, rekombinan atau organisme yang dimodifikasi secara genetik (genetically modified organism = GMO).
Transgenik terdiri dari kata trans yang berarti pindah dan gen yang berarti pembawa sifat. Jadi transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk hidup kemakhluk hidup lainnya, baik dari satu tanaman ketanaman lainnya, atau dari gen hewan ke tanaman. Tanaman transgenik memiliki sifat-sifat unggul yang merupakan ekspresi gen dari sumber-sumber gen organisme lain yang berhasil disisipkan pada tanaman tersebut. Tanaman transgenik yang sudah dihasilkan tidak hanya tanaman yang memiliki sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit tetapi juga tanaman yang dapat menghasilkan nutrisi tertentu sesuai dengan komposisi yang dikehendaki.

B.       Penerapan Bioteknologi Dalam Bidang Perlindungan Tanaman
Hasil bioteknologi yang sudah dikembangkan dan digunakan dalam perlindungan tanaman antara lain:
a. Tanaman transgenik tahan hama
Pada umumnya tanaman telah disisipi dengan gen yang berasal dari banyak strain Bacillus thuringiensis yang ditujukan untuk mengendalikan jenis-jenis hama tertentu. Di pasar dunia telah dikenal kapas transgenik atau kapas Bt., jagung Bt., kentang Bt., kedelai Bt., tomat Bt, kanola Bt., dan lain-lainnya. Sampai saat ini kapas Bt. sudah diijinkan di Indonesia tetapi masih ditanam secara terbatas di Propinsi Sulawesi Selatan.

b. Tanaman transgenik tahan herbisida
beberapa jenis tanaman seperti kapas, jagung dan kedelai telah disisipi gen tertentu sehingga tanaman tersebut tidak mati apabila terpapar herbisida. Beberapa jenis tanaman telah disisipi dua gen sehingga tanaman tersebut tahan terhadap hama tertentu dan tahan terhadap herbisida.

c. Tanaman tahan terhadap penyakit
Beberapa tanaman sepeti tomat, tembakau dan kentang berhasil disisipi gen yang menghasilkan protein pembungkus dari virus penyebab penyakit mozaik pada tembakau. Tanaman tahan terhadap penyakit virus dapat lebih meningkatkan efektivitas pengendalian penyakit virus daripada penggunaan teknik yang biasa dilakukan. Misalnya dengan memasukkan gen penyandi tanaman terselubung (coat protein) Johnson grass mosaic poty virus (JGMV) ke dalam suatu tanaman, diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan.

d. Rekayasa genetika agensia pengendalian hama
Aplikasi bioteknologi dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat agensia pengendalian hayati termasuk peningkatan kemampuan membunuh inang/mangsa. Agensia pengendalian hayati berupa parasitoid, predator, maupun patogen hama (bakteri, virus, jamur, nematoda, protozoa). Saat ini para peneliti lebih menekankan pada kelompok bakteri dan virus darpada jamur, nematoda dan protozoa. Bioteknologi juga berpotensi untuk menyelesaikan masalah dalam pemeliharaan dan produksi massal musuh alami di laboratorium.

e. Pengembangan Biopestisida
Pengembangan dan penemuan jenis-jenis biopestisida baru yang lebih efektif dan efisien dapat dipercepat melalui pemanfaatan bioteknologi

f. Rekayasa genetika tanaman
Tumbuhan tertentu mempunyai sifat allelopati yang berfungsi melindungi tumbuhan tersebut dari pengaruh tumbuhan lain disekitarnya. Apabila sifat tersebut dapat dipindahkan ke tanaman lain maka akan diperoleh tanaman yang mampu mengendalikan gulma yang hidup disekitarnya.

g. Sebagai perangkat deteksi penyakit virus
Salah satu teknik bioteknologi yaitu pembuatan antibodi monoklonal yang dapat digunakan sebagai perangkat deteksi yang sangat tepat dan cepat terhadap serangga penular atau transmitter penyakit virus seperti Nephottetix virescens yang menularkan penyakit tungro pada padi. Melalui pemanfaatan teknologi antibodi monoklonal, random amplified polymorphin DNA (RAPD), polymerase chain reaction (PCR) dan metode bioteknologi lain maka pengelompokan organisme berdasarkan sifat-sifatnya dapat dilakukan lebih teliti sehingga membantu penerapan PHT di lapangan.

C.      Tantangan dan Masalah yang Dihadapi
Setiap jenis teknologi baik yang baru maupun yang lama apabila digunakan dan dilepaskan ke lingkungan tentu mengandung risiko yang membahayakan bagi manusia baik secara individu maupun kelompok masyarakat, serta berbahaya bagi lingkungan hidup lokal, nasional maupun global. Kekhawatiran masyarakat saat ini lebih ditujukan pada masalah produksi, pelepasan dan penggunaan produk-produk bioteknologi termasuk tanaman transgenik. Ada beberapa tantangan dan masalah yang dihadapi dalam penerapan bioteknologi dalam penggunaannya dibidang perlindungan tanaman, baik dari segi kesehatan, ekosistem, hingga etika.
Dari segi kesehatan, tanaman ini dianggap dapat menjadi alergen (senyawa yang menimbulkan alergi) baru bagi manusia. Untuk menanggapi hal tersebut, para peneliti menyatakan bahwa sebelum suatu tanaman transgenik diproduksi secara massal, akan melakukan berbagai pengujian potensi alergi dan toksisitas untuk menjamin agar produk tanaman tersebut aman untuk dikonsumsi. Apabila berpotensi menyebabkan alergi, maka tanaman transgenik tersebut tidak akan dikembangkan lebih lanjut.
Kekhawatiran lain yang timbul di masyarakat adalah kemungkinan gen asing pada tanaman transgenik dapat berpindah ke tubuh manusia apabila dikonsumsi. Pendapat tersebut dinilai berlebihan oleh para ilmuwan karena makanan yang berasal dari tanaman transgenik akan terurai menjadi unsur-unsur yang dapat diserap tubuh sehingga tidak akan ada gen aktif. Untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam memilih produk transgenik atau produk alami, berbagai negara, khususnya negara-negara Eropa, telah melakukan pemberian label terhadap produk transgenik. Pelabelan tersebut juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen sebelum mengonsumsi hasil tanaman transgenik.
Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik muncul karena dianggap berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satunya adalah terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di lingkungan. Kekhawatiran ini terlihat jelas pada perdebatan mengenai jagung Bt yang memiliki racun Bt untuk membunuh hama lepidoptera berupa ngengat dan kupu-kupu tertentu. Ada kemungkinan hama yang ingin dibunuh dapat beradaptasi dengan tanaman tersebut dan menjadi hama yang lebih tahan atau resisten terhadap racun Bt. Selain itu, kupu-kupu Monarch, yang bukan merupakan hama jagung, ikut terkena dampak berupa peningkatan kematian akibat memakan daun tumbuhan perdu (Asclepias) yang terkena serbuk sari dari jagung Bt. Penelitian mengenai kupu-kupu Monarch tersebut dapat disanggah oleh studi lainnya yang menyatakan bahwa kupu-kupu tersebut mati karena habitatnya dirusak dan hal ini tidak berhubungan sama sekali dengan jagung Bt. Di sisi lain, penggunaan tanaman transgenik seperti jagung Bt telah menurunkan penggunaan pestisida secara signifikan sehingga mengurangi pencemaran kimia ke lingkungan. Selain itu, petani juga merasakan dampak ekonomis dengan penghematan biaya pembelian pestisida.
Kontroversi lain yang berkaitan dengan isu ekologi adalah timbulnya perpindahan gen secara tidak terkendali dari tanaman transgenik ke tanaman lain di alam melalui penyerbukan (polinasi). Serbuk sari dari tanaman transgenik dapat terbawa angin dan hewan hingga menyerbuki tanaman lain. Akibatnya, dapat terbentuk tumbuhan baru dengan sifat yang tidak diharapkan dan berpotensi merugikan lingkungan. Tanaman transgenik yang memiliki keunggulan sifat-sifat tertentu dikhawatirkan menjadi “gulma super” yang berperilaku seperti gulma dan tidak dapat dikendalikan. Sebagai tindakan pencegahan, beberapa tanaman yang disisipi gen untuk mempercepat pertumbuhan dan reproduksi tanaman, seperti: alfalfa (Medicago sativa), kanola, bunga matahari, dan padi, disarankan untuk dibudidayakan pada daerah tertutup (terisolasi) atau dibatasi dengan daerah penghalang. Hal itu dilakukan untuk menekan perpindahan serbuk sari ke tanaman lain, terlebih gulma. Apabila gulma memiliki gen tersebut maka pertumbuhannya akan semakin tidak terkendali dan dengan cepat dapat merusak berbagai daerah pertanian di sekitarnya. Hingga sekarang belum terdapat petunjuk bahwa transfer horizontal ini telah menyebabkan munculnya "gulma super", meskipun telah diketahui terjadi transfer horizontal.
Dari segi etika, pihak yang kontra dengan tanaman transgenik menganggap bahwa rekayasa atau manipulasi genetik tanaman merupakan tindakan yang tidak menghormati penciptaan Tuhan. Perubahan sifat tanaman dengan penambahan gen asing juga dianggap sebagai tindakan "bermain sebagai Tuhan" karena mengubah makhluk yang telah diciptakan-Nya. Pemikiran teologis Katolik memandang bahwa manipulasi atau rekayasa genetik merupakan suatu kemungkinan yang disediakan oleh Tuhan karena tanaman diberikan kepada manusia untuk dipelihara dan dimanfaatkan. Dalam sudut pandang agama tersebut, modifikasi genetika tanaman tidak berlawanan dengan ajaran Gereja Katolik, namun kelestarian alam juga harus diperhatikan karena merupakan tanggung jawab manusia.
Dalam menanggapi isu tentang tanaman transgenik, Dewan Yuriprudensi Islam dan Badan Sertifikasi Makanan Islam di Amerika (IFANCA) menyatakan bahwa makanan dari tanaman transgenik yang ada telah dikembangkan bersifat halal dan dapat dikonsumsi oleh umat Islam. Untuk tanaman yang disisipi gen dari binatang haram, produk tanaman transgenik tersebut akan disebut Masbuh, yang berarti masih diragukan (belum diketahui) status halal atau haramnya. Sertifikasi makanan yang telah dikeluarkan oleh IFANCA juga diakui dan diterima oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS), Liga Muslim Dunia, Arab Saudi, dan pemerintah Malaysia. Pihak yang mendukung tanaman transgenik menganggap bahwa transfer gen dari suatu makhluk hidup ke makhluk lainnya merupakan hal yang alamiah dan biasa terjadi di alam sejak pertama kali berlangsungnya kehidupan. Mereka juga berargumen bahwa persilangan berbagai jenis padi yang dilakukan untuk mendapatkan padi dengan sifat unggul telah dilakukan para petani sejak dahulu. Perkawinan berbagai varietas padi tanpa disadari telah mencampur gen-gen yang ada di tanaman tersebut. Para ilmuwan hanya mempercepat proses transfer gen tersebut secara sengaja dan sistematis.
Pemberlakuan paten pada produk transgenik dapat mengakibatkan petani kehilangan kemampuan memproduksi benih secara mandiri dan harus membeli pada produsen dari negara maju. Ketergantungan para petani terhadap produsen juga semakin meningkat dengan ditemukannya teknologi "gen bunuh diri". Sebagian tanaman transgenik disisipi "gen bunuh diri" yang menyebabkan tanaman hanya bisa ditanam satu kali dan biji keturunan selanjutnya bersifat mandul (tidak dapat berkembang biak). Hal ini akan menyebabkan terjadinya arus modal dari negara berkembang ke negara maju untuk pembelian bibit transgenik setiap kali akan melakukan penanaman. Para petani di negara-negara dunia ketiga khawatir bila harga benih akan menjadi mahal karena pemberlakuan paten dan mekanisme "gen bunuh diri" yang dilakukan oleh produsen benih. Jika petani tersebut tidak mampu membeli benih transgenik maka kesenjangan ekonomi antara negara penghasil tanaman transgenik dan negara berkembang sebagai konsumen akan semakin melebar. Salah satu usaha mencegah terjadinya kesenjangan tersebut pernah dilakukan oleh Yayasan Rockefeller. Yayasan yang berpusat di Amerika Serikat tersebut telah menjual benih transgenik dengan harga yang lebih murah kepada negara-negara miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar