Halaman

Selasa, 13 November 2012

Pelajaran Berharga Untuk Rizal

 

Aku mendapat cerita ini dari seorang teman kuliahku. Anak itu baik, lucu, suka menolong, dan ramah. Sayangnya dia sering dijadikan bulan-bulanan lelucon di kelas. Suatu hari dia bercerita padaku tentang kehidupannya di SMA. Hingga sampailah dia pada cerita tentang seseorang yang telah mengubah hidupnya.

Nama temanku adalah Rizal dan masa SMA bukanlah masa gemilang bagi seorang Rizal. Meskipun potensi akademisnya jauh diatas teman-temannya, Rizal termasuk anak pintar yang bandel. Ia sombong, angkuh, egois, dan suka mempermainkan orang lain.

Suatu hari di awal semester ganjil, seorang siswa baru masuk bersama wali kelasnya. Siswa itu, sebut saja, bernama Ady. Seragam yang ia pakai kumal, celana abu-abunya tampak menguning, begitu juga dengan bajunya. Rizal jijik melihat anak itu.

“Ady, kamu boleh duduk di bangku kosong mana saja.” Kata wali kelas pada siswa baru itu. Ia mengangguk dan segera mematuhi perintah gurunya. Saat itu Rizal sadar apa yang terjadi. Bangku yang kosong hanyalah tempat duduk di sampingnya. Rizal protes saat Ady sampai di tepi meja.

“Bu!” kata Rizal. “Saya nggak mau duduk sama dia Bu. Kucel, bau, jelek lagi.” Ujar Rizal tanpa belas kasih. Ady tampak tersenyum.

Namun meskipun Rizal protes, guru wali kelas tetap bersikeras bahwa Ady harus duduk disana. Maka Rizal berhenti protes.

“Saya Ady, kamu siapa?” sapanya sopan seraya mengulurkan tangan. Rizal mengacuhkannya.

“Gue gak mau duduk sama elo. Duduk di bawah!” kata Rizal memberi perintah.

Ady tampak sedih dan tersinggung, tapi ia berusaha tersenyum dan berkata, “Ya sudah, saya duduk di bawah. Salam kenal.”

Rizal tidak peduli, ia mengacuhkannya.

Saat jam istirahat, Rizal dan kawan-kawannya seperti biasa pergi ke kantin untuk makan siang. Sedangkan Ady yang belum memiliki kawan, hanya duduk di kursinya dan memakan sebungkus roti. Ketika Rizal masuk ke dalam kelas, Ady dengan ramah menawarkan roti.

“Mau roti, Zal?” tanyanya.

Kemudian dengan menunjukkan rasa angkuh serta emosi yang meledak-ledak, Rizal mengambil roti itu, berjalan ke depan kelas, dan melempar roti tersebut ke tempat sampah.

“Roti begini mau lu kasih gue? Gak level. Roti buluk. Roti murahan!” ucapnya keras-keras hingga menarik perhatian orang-orang yang lewat.

Rizal tau Ady tersinggung dan sedih, namun betapa anehnya anak itu justru tersenyum. Ia mengambil kembali rotinya dari tempat sampah, kemudian memakannya.

Beberapa hari kemudian, entah dari mana Rizal tahu bahwa roti itu, roti buluk yang dijual di warung pinggir jalan, roti murahan, roti yang dijual seharga lima ratus rupiah sebungkus, adalah jatah makan Ady selama sehari. Ada perasaan menyesal dalam dirinya. Ada perasaan bersalah dalam hatinya.

Suatu hari, Rizal diam-diam mengikuti Ady sepulang sekolah. Ady berjalan pulang dari sekolah yang berjarak hampir setengah jam berjalan kaki. Rizal mengikutinya sampai depan pintu rumah, menyapanya, dan membuat anak itu terkejut.

“Rizal? Ada apa?” tanya Ady masih terkejut. Ia menyuruh Rizal masuk.

Rumah itu tidak seperti rumahnya. Rumah itu kecil, berdinding bambu, beratap daun, terlihat dingin saat malam hari. Disana ada dua orang anak perempuan yang masih kecil-kecil menyambut kedatangan kakak mereka.

“Maaf rumahnya begini, gak ada makanan, gak ada minuman.”

Rizal menggeleng, “Ga pa pa.”

Ady menceritakan kegiatannya sehari-hari. Selain sebagai pelajar, ia juga bekerja sebagai tukang semir sepatu untuk menghidupi kedua adik perempuannya yang masih kecil-kecil. Kedua orang tuanya sudah lama wafat, kini ia yang menjadi tulang punggung keluarga.

Keesokan harinya Rizal meminta pada Ady agar ia mau mengajaknya bekerja. Maka berangkatlah mereka berdua berkeliling kota sepulang sekolah untuk mencari sepatu-sepatu yang harus disemir.

Panas matahari begitu terik. Ingin rasanya Rizal membeli segelas air mineral untuk melepas dahaganya. Namun ia malu melihat Ady yang begitu kuat menahan rasa haus dan lapar.

Mulai hari itu ada sesuatu yang mengubah pemikirannya. Rizal mulai berubah. Seorang anak yang menjadi tulang punggung keluarga telah mengubahnya menjadi lebih baik, menjadi seseorang yang lebih menghargai orang lain dan menghargai rizki yang diberikan Allah. Ia menyesal dengan segala kesalahan yang pernah ia lakukan.

Namun sungguh, terkadang manusia tidak bisa menafsirkan apa yang tersirat dibalik jalan Allah. Ya, terkadang kita tidak mengerti tentang apa yang Allah pilihkan untuk kita. Dan Rizal mengalaminya.

Malam itu adalah acara ulang tahun Rizal yang ke-17. Sebuah pesta ulang tahun diselenggarakan di rumahnya. Ady datang, dengan baju kumalnya seperti biasa, membawakan sebuah kado terbungkus kertas koran. Isinya adalah roti yang setiap hari ia makan.

Tak terasa butiran bening mengalir hangat di pipi Rizal. Semua teman-teman lamanya mulai terlupakan, tergantikan oleh sesosok manusia tegar bernama Ady. Ia yang mengajarkan bagaimana kehidupan yang sebenarnya, bagaimana sulitnya mencari sepeser uang, bagaimana cara mensyukuri nikmat Allah, hingga bagaimana mencari berkah di tengah kesulitan hidup.

Rizal mulai tersedu-sedu saat melanjutkan cerita. Ia bercerita bahwa setelah acara ulang tahunnnya selesai, Ady pamit pulang. Ia menolak Rizal yang menawarkan diri untuk mengantarnya. Namun belum sampai hitungan jam dari kepergiannya, Rizal mendapat kabar bahwa terjadi kecelakaan fatal yang menyebabkan kematian seorang siswa SMA. Siswa itu adalah Ady.

Tak ada yang bisa menggantikan sosok Ady dalam kehidupan Rizal. Ia merubah sifat angkuh dan sombong dalam diri Rizal menjadi sifat rendah hati dan setia kawan. Pertemuan mereka yang singkat menjadi pelajaran berharga, menjadi suatu hikmah, menjadi suatu contoh, bahwa kita bisa mendapat pelajaran bukan hanya dari sekolah atau buku, bukan pula hanya dari orang tua, kiyai, atau guru, tapi pelajaran berharga ada kalanya berasal dari orang-orang yang tidak kita duga.

Mungkin dia adalah orang yang dulu kita benci, mungkin orang itu adalah anak jalanan yang miskin, mungkin pelajaran itu datang dari preman jalanan yang sangat jahat, atau mungkin akan datang dari seorang wanita tua yang tuli dan bisu. Kita tidak mengetahui apa arti kehidupan seseorang dalam hidup kita kecuali kita membuka mata hati untuk melihat. Bahkan terkadang kita tidak mengerti mengapa kita hidup, padahal mungkin diri kita akan menjadi contoh atau pelajaran untuk orang lain. Berusaha dan berdoalah supaya kita menjadi sebuah contoh kebaikan. Semoga kita selalu terhimpun dalam ketaatan kepada-Nya. Aamiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar