Aku mendapat cerita ini dari seorang teman kuliahku.
Anak itu baik, lucu, suka menolong, dan ramah. Sayangnya dia sering dijadikan
bulan-bulanan lelucon di kelas. Suatu hari dia bercerita padaku tentang
kehidupannya di SMA. Hingga sampailah dia pada cerita tentang seseorang yang
telah mengubah hidupnya.
Nama temanku adalah Rizal dan masa SMA bukanlah masa
gemilang bagi seorang Rizal. Meskipun potensi akademisnya jauh diatas
teman-temannya, Rizal termasuk anak pintar yang bandel. Ia sombong, angkuh,
egois, dan suka mempermainkan orang lain.
Suatu hari di awal semester ganjil, seorang siswa baru
masuk bersama wali kelasnya. Siswa itu, sebut saja, bernama Ady. Seragam yang
ia pakai kumal, celana abu-abunya tampak menguning, begitu juga dengan bajunya.
Rizal jijik melihat anak itu.
“Ady, kamu boleh duduk di bangku kosong mana saja.”
Kata wali kelas pada siswa baru itu. Ia mengangguk dan segera mematuhi perintah
gurunya. Saat itu Rizal sadar apa yang terjadi. Bangku yang kosong hanyalah
tempat duduk di sampingnya. Rizal protes saat Ady sampai di tepi meja.
“Bu!” kata Rizal. “Saya nggak mau duduk sama dia Bu.
Kucel, bau, jelek lagi.” Ujar Rizal tanpa belas kasih. Ady tampak tersenyum.
Namun meskipun Rizal protes, guru wali kelas tetap
bersikeras bahwa Ady harus duduk disana. Maka Rizal berhenti protes.
“Saya Ady, kamu siapa?” sapanya sopan seraya
mengulurkan tangan. Rizal mengacuhkannya.
“Gue gak mau duduk sama elo. Duduk di bawah!” kata
Rizal memberi perintah.
Ady tampak sedih dan tersinggung, tapi ia berusaha
tersenyum dan berkata, “Ya sudah, saya duduk di bawah. Salam kenal.”
Rizal tidak peduli, ia mengacuhkannya.
Saat jam istirahat, Rizal dan kawan-kawannya seperti
biasa pergi ke kantin untuk makan siang. Sedangkan Ady yang belum memiliki
kawan, hanya duduk di kursinya dan memakan sebungkus roti. Ketika Rizal masuk
ke dalam kelas, Ady dengan ramah menawarkan roti.
“Mau roti, Zal?” tanyanya.
Kemudian dengan menunjukkan rasa angkuh serta emosi
yang meledak-ledak, Rizal mengambil roti itu, berjalan ke depan kelas, dan
melempar roti tersebut ke tempat sampah.
“Roti begini mau lu kasih gue? Gak level. Roti buluk.
Roti murahan!” ucapnya keras-keras hingga menarik perhatian orang-orang yang
lewat.
Rizal tau Ady tersinggung dan sedih, namun betapa anehnya
anak itu justru tersenyum. Ia mengambil kembali rotinya dari tempat sampah,
kemudian memakannya.
Beberapa hari kemudian, entah dari mana Rizal tahu
bahwa roti itu, roti buluk yang dijual di warung pinggir jalan, roti murahan,
roti yang dijual seharga lima ratus rupiah sebungkus, adalah jatah makan Ady
selama sehari. Ada perasaan menyesal dalam dirinya. Ada perasaan bersalah dalam
hatinya.
Suatu hari, Rizal diam-diam mengikuti Ady sepulang
sekolah. Ady berjalan pulang dari sekolah yang berjarak hampir setengah jam
berjalan kaki. Rizal mengikutinya sampai depan pintu rumah, menyapanya, dan
membuat anak itu terkejut.
“Rizal? Ada apa?” tanya Ady masih terkejut. Ia menyuruh
Rizal masuk.
Rumah itu tidak seperti rumahnya. Rumah itu kecil,
berdinding bambu, beratap daun, terlihat dingin saat malam hari. Disana ada dua
orang anak perempuan yang masih kecil-kecil menyambut kedatangan kakak mereka.
“Maaf rumahnya begini, gak ada makanan, gak ada
minuman.”
Rizal menggeleng, “Ga pa pa.”
Ady menceritakan kegiatannya sehari-hari. Selain
sebagai pelajar, ia juga bekerja sebagai tukang semir sepatu untuk menghidupi
kedua adik perempuannya yang masih kecil-kecil. Kedua orang tuanya sudah lama
wafat, kini ia yang menjadi tulang punggung keluarga.
Keesokan harinya Rizal meminta pada Ady agar ia mau
mengajaknya bekerja. Maka berangkatlah mereka berdua berkeliling kota sepulang
sekolah untuk mencari sepatu-sepatu yang harus disemir.
Panas matahari begitu terik. Ingin rasanya Rizal
membeli segelas air mineral untuk melepas dahaganya. Namun ia malu melihat Ady
yang begitu kuat menahan rasa haus dan lapar.
Mulai hari itu ada sesuatu yang mengubah pemikirannya.
Rizal mulai berubah. Seorang anak yang menjadi tulang punggung keluarga telah
mengubahnya menjadi lebih baik, menjadi seseorang yang lebih menghargai orang
lain dan menghargai rizki yang diberikan Allah. Ia menyesal dengan segala
kesalahan yang pernah ia lakukan.
Namun sungguh, terkadang manusia tidak bisa
menafsirkan apa yang tersirat dibalik jalan Allah. Ya, terkadang kita tidak
mengerti tentang apa yang Allah pilihkan untuk kita. Dan Rizal mengalaminya.
Malam itu adalah acara ulang tahun Rizal yang ke-17.
Sebuah pesta ulang tahun diselenggarakan di rumahnya. Ady datang, dengan baju
kumalnya seperti biasa, membawakan sebuah kado terbungkus kertas koran. Isinya
adalah roti yang setiap hari ia makan.
Tak terasa butiran bening mengalir hangat di pipi
Rizal. Semua teman-teman lamanya mulai terlupakan, tergantikan oleh sesosok
manusia tegar bernama Ady. Ia yang mengajarkan bagaimana kehidupan yang
sebenarnya, bagaimana sulitnya mencari sepeser uang, bagaimana cara mensyukuri
nikmat Allah, hingga bagaimana mencari berkah di tengah kesulitan hidup.
Rizal mulai tersedu-sedu saat melanjutkan cerita. Ia
bercerita bahwa setelah acara ulang tahunnnya selesai, Ady pamit pulang. Ia
menolak Rizal yang menawarkan diri untuk mengantarnya. Namun belum sampai
hitungan jam dari kepergiannya, Rizal mendapat kabar bahwa terjadi kecelakaan fatal
yang menyebabkan kematian seorang siswa SMA. Siswa itu adalah Ady.
Tak ada yang bisa menggantikan sosok Ady dalam
kehidupan Rizal. Ia merubah sifat angkuh dan sombong dalam diri Rizal menjadi
sifat rendah hati dan setia kawan. Pertemuan mereka yang singkat menjadi
pelajaran berharga, menjadi suatu hikmah, menjadi suatu contoh, bahwa kita bisa
mendapat pelajaran bukan hanya dari sekolah atau buku, bukan pula hanya dari
orang tua, kiyai, atau guru, tapi pelajaran berharga ada kalanya berasal dari
orang-orang yang tidak kita duga.
Mungkin dia adalah orang yang dulu kita
benci, mungkin orang itu adalah anak jalanan yang miskin, mungkin pelajaran itu
datang dari preman jalanan yang sangat jahat, atau mungkin akan datang dari
seorang wanita tua yang tuli dan bisu. Kita tidak mengetahui apa arti kehidupan
seseorang dalam hidup kita kecuali kita membuka mata hati untuk melihat. Bahkan
terkadang kita tidak mengerti mengapa kita hidup, padahal mungkin diri kita
akan menjadi contoh atau pelajaran untuk orang lain. Berusaha dan berdoalah
supaya kita menjadi sebuah contoh kebaikan.
Semoga kita selalu terhimpun dalam ketaatan kepada-Nya. Aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar