A. Bioteknologi dan Tanaman Transgenik

Transgenik terdiri dari kata trans yang berarti pindah
dan gen yang berarti pembawa sifat. Jadi transgenik adalah memindahkan gen dari
satu makhluk hidup kemakhluk hidup lainnya, baik dari satu tanaman ketanaman
lainnya, atau dari gen hewan ke tanaman. Tanaman transgenik memiliki
sifat-sifat unggul yang merupakan ekspresi gen dari sumber-sumber gen organisme
lain yang berhasil disisipkan pada tanaman tersebut. Tanaman transgenik yang
sudah dihasilkan tidak hanya tanaman yang memiliki sifat ketahanan terhadap
hama dan penyakit tetapi juga tanaman yang dapat menghasilkan nutrisi tertentu
sesuai dengan komposisi yang dikehendaki.
B.
Penerapan Bioteknologi Dalam Bidang Perlindungan Tanaman
Hasil bioteknologi yang sudah dikembangkan dan digunakan
dalam perlindungan tanaman antara lain:
a. Tanaman transgenik tahan hama
Pada umumnya
tanaman telah disisipi dengan gen yang berasal dari banyak strain Bacillus
thuringiensis yang ditujukan untuk mengendalikan jenis-jenis hama tertentu.
Di pasar dunia telah dikenal kapas transgenik atau kapas Bt., jagung Bt.,
kentang Bt., kedelai Bt., tomat Bt, kanola Bt., dan lain-lainnya. Sampai saat
ini kapas Bt. sudah diijinkan di Indonesia tetapi masih ditanam secara terbatas
di Propinsi Sulawesi Selatan.
b. Tanaman transgenik tahan herbisida
beberapa jenis tanaman seperti kapas, jagung dan kedelai
telah disisipi gen tertentu sehingga tanaman tersebut tidak mati apabila
terpapar herbisida. Beberapa jenis tanaman telah disisipi dua gen sehingga
tanaman tersebut tahan terhadap hama tertentu dan tahan terhadap herbisida.
c. Tanaman tahan terhadap penyakit
Beberapa tanaman sepeti tomat, tembakau dan
kentang berhasil disisipi gen yang menghasilkan protein pembungkus dari virus
penyebab penyakit mozaik pada tembakau. Tanaman tahan terhadap penyakit virus
dapat lebih meningkatkan efektivitas pengendalian penyakit virus daripada
penggunaan teknik yang biasa dilakukan.
Misalnya dengan memasukkan gen penyandi tanaman terselubung (coat protein) Johnson
grass mosaic poty virus (JGMV) ke dalam suatu tanaman, diharapkan tanaman
tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan.
d. Rekayasa genetika agensia pengendalian hama
Aplikasi bioteknologi dapat dimanfaatkan untuk
memperbaiki sifat-sifat agensia pengendalian hayati termasuk peningkatan
kemampuan membunuh inang/mangsa. Agensia pengendalian hayati berupa parasitoid,
predator, maupun patogen hama (bakteri, virus, jamur, nematoda, protozoa). Saat
ini para peneliti lebih menekankan pada kelompok bakteri dan virus darpada
jamur, nematoda dan protozoa. Bioteknologi juga berpotensi untuk menyelesaikan
masalah dalam pemeliharaan dan produksi massal musuh alami di laboratorium.
e. Pengembangan Biopestisida
Pengembangan dan penemuan jenis-jenis biopestisida baru
yang lebih efektif dan efisien dapat dipercepat melalui pemanfaatan
bioteknologi
f. Rekayasa genetika tanaman
Tumbuhan tertentu mempunyai sifat allelopati yang
berfungsi melindungi tumbuhan tersebut dari pengaruh tumbuhan lain
disekitarnya. Apabila sifat tersebut dapat dipindahkan ke tanaman lain maka
akan diperoleh tanaman yang mampu mengendalikan gulma yang hidup disekitarnya.
g. Sebagai perangkat deteksi penyakit virus
Salah satu teknik bioteknologi yaitu pembuatan antibodi
monoklonal yang dapat digunakan sebagai perangkat deteksi yang sangat tepat dan
cepat terhadap serangga penular atau transmitter penyakit virus seperti
Nephottetix virescens yang menularkan penyakit tungro pada padi. Melalui
pemanfaatan teknologi antibodi monoklonal, random amplified polymorphin DNA
(RAPD), polymerase chain reaction (PCR) dan metode bioteknologi lain maka
pengelompokan organisme berdasarkan sifat-sifatnya dapat dilakukan lebih teliti
sehingga membantu penerapan PHT di lapangan.
C.
Tantangan dan Masalah yang Dihadapi
Setiap jenis teknologi baik yang baru maupun yang lama
apabila digunakan dan dilepaskan ke lingkungan tentu mengandung risiko yang
membahayakan bagi manusia baik secara individu maupun kelompok masyarakat,
serta berbahaya bagi lingkungan hidup lokal, nasional maupun global.
Kekhawatiran masyarakat saat ini lebih ditujukan pada masalah produksi,
pelepasan dan penggunaan produk-produk bioteknologi termasuk tanaman
transgenik. Ada beberapa tantangan dan masalah yang dihadapi dalam penerapan bioteknologi
dalam penggunaannya dibidang perlindungan tanaman, baik dari segi kesehatan,
ekosistem, hingga etika.
Dari segi kesehatan, tanaman ini dianggap dapat menjadi alergen (senyawa yang menimbulkan alergi) baru bagi
manusia. Untuk menanggapi hal tersebut, para peneliti
menyatakan bahwa sebelum suatu tanaman transgenik diproduksi secara massal,
akan melakukan berbagai pengujian potensi alergi dan toksisitas untuk menjamin agar produk tanaman tersebut aman untuk
dikonsumsi. Apabila berpotensi menyebabkan alergi, maka tanaman transgenik
tersebut tidak akan dikembangkan lebih lanjut.
Kekhawatiran lain yang timbul di masyarakat adalah
kemungkinan gen asing pada tanaman transgenik dapat berpindah ke tubuh manusia
apabila dikonsumsi. Pendapat tersebut dinilai berlebihan oleh para
ilmuwan karena makanan yang berasal dari tanaman
transgenik akan terurai menjadi unsur-unsur yang dapat diserap tubuh sehingga
tidak akan ada gen aktif. Untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam
memilih produk transgenik atau produk alami, berbagai negara, khususnya negara-negara
Eropa, telah melakukan pemberian label terhadap produk transgenik. Pelabelan
tersebut juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen sebelum
mengonsumsi hasil tanaman transgenik.
Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik muncul
karena dianggap berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satunya
adalah terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di
lingkungan. Kekhawatiran ini terlihat jelas pada perdebatan mengenai jagung Bt yang memiliki racun Bt untuk membunuh hama lepidoptera berupa ngengat dan kupu-kupu tertentu. Ada kemungkinan hama yang ingin dibunuh dapat beradaptasi dengan
tanaman tersebut dan menjadi hama yang lebih tahan atau resisten terhadap racun
Bt. Selain itu, kupu-kupu Monarch, yang bukan merupakan hama jagung, ikut terkena dampak berupa peningkatan
kematian akibat memakan daun tumbuhan perdu (Asclepias) yang terkena serbuk sari dari jagung Bt. Penelitian mengenai kupu-kupu
Monarch tersebut dapat disanggah oleh studi lainnya yang menyatakan bahwa
kupu-kupu tersebut mati karena habitatnya dirusak dan hal ini tidak berhubungan
sama sekali dengan jagung Bt. Di sisi lain, penggunaan tanaman transgenik
seperti jagung Bt telah menurunkan penggunaan pestisida secara signifikan sehingga mengurangi
pencemaran kimia ke lingkungan. Selain itu, petani juga merasakan dampak
ekonomis dengan penghematan biaya pembelian pestisida.
Kontroversi lain yang berkaitan dengan isu ekologi adalah timbulnya perpindahan gen secara tidak
terkendali dari tanaman transgenik ke tanaman lain di alam melalui penyerbukan (polinasi). Serbuk sari dari tanaman transgenik dapat
terbawa angin dan hewan hingga menyerbuki tanaman lain. Akibatnya,
dapat terbentuk tumbuhan baru dengan sifat yang tidak diharapkan dan berpotensi
merugikan lingkungan. Tanaman transgenik yang memiliki keunggulan
sifat-sifat tertentu dikhawatirkan menjadi “gulma super” yang berperilaku
seperti gulma dan tidak dapat dikendalikan. Sebagai tindakan pencegahan, beberapa tanaman yang disisipi gen untuk mempercepat pertumbuhan dan reproduksi tanaman, seperti: alfalfa (Medicago sativa), kanola, bunga matahari, dan padi, disarankan untuk dibudidayakan pada daerah tertutup
(terisolasi) atau dibatasi dengan daerah penghalang. Hal itu dilakukan untuk
menekan perpindahan serbuk sari ke tanaman lain, terlebih gulma. Apabila gulma memiliki gen tersebut maka pertumbuhannya akan semakin tidak
terkendali dan dengan cepat dapat merusak berbagai daerah pertanian di sekitarnya. Hingga sekarang belum terdapat
petunjuk bahwa transfer horizontal ini telah menyebabkan munculnya "gulma
super", meskipun telah diketahui terjadi transfer horizontal.
Dari segi etika, pihak yang kontra dengan tanaman transgenik
menganggap bahwa rekayasa atau manipulasi genetik tanaman merupakan tindakan
yang tidak menghormati penciptaan Tuhan. Perubahan sifat tanaman dengan
penambahan gen asing juga dianggap sebagai tindakan "bermain sebagai
Tuhan" karena mengubah makhluk yang telah diciptakan-Nya. Pemikiran teologis Katolik memandang bahwa manipulasi atau rekayasa genetik merupakan suatu
kemungkinan yang disediakan oleh Tuhan karena tanaman diberikan kepada manusia untuk
dipelihara dan dimanfaatkan. Dalam sudut pandang agama tersebut, modifikasi genetika tanaman tidak
berlawanan dengan ajaran Gereja Katolik, namun kelestarian alam juga harus
diperhatikan karena merupakan tanggung jawab manusia.
Dalam menanggapi isu tentang tanaman transgenik, Dewan Yuriprudensi Islam dan Badan Sertifikasi Makanan Islam di
Amerika (IFANCA) menyatakan bahwa makanan dari tanaman transgenik yang ada
telah dikembangkan bersifat halal dan dapat dikonsumsi oleh umat Islam. Untuk tanaman yang disisipi gen dari
binatang haram, produk tanaman transgenik tersebut akan
disebut Masbuh, yang berarti masih diragukan (belum diketahui) status halal
atau haramnya. Sertifikasi makanan yang telah dikeluarkan oleh IFANCA juga
diakui dan diterima oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS), Liga Muslim Dunia, Arab Saudi, dan pemerintah Malaysia. Pihak yang mendukung tanaman transgenik
menganggap bahwa transfer gen dari suatu makhluk hidup ke makhluk lainnya
merupakan hal yang alamiah dan biasa terjadi di alam sejak pertama kali
berlangsungnya kehidupan. Mereka juga berargumen bahwa persilangan berbagai
jenis padi yang dilakukan untuk mendapatkan padi dengan sifat
unggul telah dilakukan para petani sejak dahulu. Perkawinan berbagai varietas
padi tanpa disadari telah mencampur gen-gen yang ada di tanaman tersebut. Para
ilmuwan hanya mempercepat proses transfer gen tersebut secara sengaja dan
sistematis.
Pemberlakuan paten pada produk transgenik dapat
mengakibatkan petani kehilangan kemampuan memproduksi benih secara mandiri dan
harus membeli pada produsen dari negara maju. Ketergantungan para petani terhadap produsen juga
semakin meningkat dengan ditemukannya teknologi "gen bunuh diri". Sebagian tanaman transgenik disisipi "gen
bunuh diri" yang menyebabkan tanaman hanya bisa ditanam satu kali dan biji
keturunan selanjutnya bersifat mandul (tidak dapat berkembang biak). Hal ini
akan menyebabkan terjadinya arus modal dari negara berkembang ke negara maju untuk pembelian bibit transgenik setiap kali
akan melakukan penanaman. Para petani di negara-negara dunia ketiga khawatir bila harga benih akan menjadi mahal
karena pemberlakuan paten dan mekanisme "gen bunuh diri" yang
dilakukan oleh produsen benih. Jika petani tersebut tidak mampu membeli benih
transgenik maka kesenjangan ekonomi antara negara penghasil tanaman transgenik
dan negara berkembang sebagai konsumen akan semakin melebar. Salah satu usaha
mencegah terjadinya kesenjangan tersebut pernah dilakukan oleh Yayasan Rockefeller. Yayasan yang berpusat di Amerika Serikat tersebut telah menjual benih transgenik
dengan harga yang lebih murah kepada negara-negara miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar